“Ketika logika tak bisa menjelaskannya,
mungkin hati bisa menjelaskannya. Atau aku perlu memadukan keduanya, agar kau
semakin mengerti…”
Ini sudah kesekian
kalinya…
Ah, sudah kubilang
pada diriku sendiri berulang-ulang, bahkan pada segelintir orang, bahwa aku
wanita dibalik tirai senja, cukup mengerti saja. Jangan tanya ada apa dan
mengapa! Aku kira mereka mengerti maksudku, tapi ternyata tidak cukup untuk
dimengerti.
Takkan ada
habis-habisnya jika kita membahas soal perasaan, terutama tentangCINTA.
Sampai ke ujung dunia pun, bahkan sampai kau mati pun, cinta akan terus ada dan
mengikutimu, bahkan kau sendiri adalah jelmaan dari cinta. Dahsyat sekali bukan
persoalan cinta ini?
Cinta itu anugerah
Tuhan yang paling indah. Pasti kita semua setuju dengan pernyataan ini. Tentu
saja, karena cinta itu adalah dariNya dan akan kembali padaNya, bukankah itu
berarti bahwa cinta itu suci? Bukankah itu berarti kita harus menjaga cinta
dengan baik? Bukankah cinta itu sesuatu yang benar, baik, dan indah? Bukankah
itu berarti kita tidak berhak menodainya? Jadi, tidak ada yang salah dengan
CINTA, karena cinta akan baik-baik saja selamanya. Jangan pernah menyesal telah
merasakan cinta (jatuh cinta) apalagi menyalahkan cinta, bukan cinta yang
salah, bisa jadi kita sendiri yang tidak bisa mengelola hati (cinta) dengan
baik, terkadang kita buta, mana yang cinta dan mana yang nafsu. Keduanya
berbeda tipis sekali. Bisa jadi selama ini kita mencampuradukkan keduanya. ya,
atas nama cinta yang dibayangin nafsu belaka.
Hah, menulis ini
sebenarnya sedikit membuatku sesak. Tapi, biarkan kali ini hatiku yang
merangkai kata, logikaku sedikit mengalah untuk persoalan sakral ini. Kali ini,
izinkan aku menceritakan sedikit potongan cinta dalam hidupku .
Dari rasa suka, kagum,
sayang, kemudian CINTA.
Entahlah sekarang
perasaanku berada di posisi mana. Mungkin pertengahan antara sayang dan cinta.
Aku coba kembali ke perasaan yang lalu, dimana perasaan itu berawal. Mencoba
mengoreksi, apakah terselip nafsu di dalamnya. Biarkan aku menjawabnya di dalam
hati.
Memendam perasaan itu
menyesakkan hati. Aku yakin kau juga pernah merasakannya. Memendam perasaan itu
membuatmu menjadi “sakit”. Memendam perasaan itu membuatmu merasa “kalah”.
Sadarkah, kau telah dibunuh oleh bom waktu! Waktu memang suatu saat akan
mengobati rasa “sakitmu” itu, tapi dia juga menertawakanmu. kali ini aku
katakan padamu, jangan pernah mau dikalahkan oleh waktu sedetik pun, kau harus
bisa menatap waktu dengan mata elangmu, karena setiap detik, ada makna yang
tersimpan.
Jika memendam perasaan
membuatmu merasa “kalah” dan “sakit”, lalu kenapa kau tidak mengatakan isi
hatimu yang sebenarnya? Atau bagimu hal itu terlihat konyol dan impulsif? Mmm…
Tidak bagiku. Karena semua tergantung bagaimana kita menyampaikan dan
menyikapinya, tergantung bagaimana kau merangkai katanya, dan tentu tergantung
dari niatmu. Ini hanya masalah sederhana.
Kau tahu, aku
menjelaskan semua padanya dengan berbagai cara, berbulan-bulan! Aku tidak
menuntut agar dia menjadi milikku, aku tidak meminta dia membalas semua caraku
dengan cara yang sama, sama sekali TIDAK! Aku hanya ingin dia tahu dan mengerti
bahwa aku “ADA”, bahwa aku selama ini berusaha mengerti dan memahaminya.
Itu saja, tidak lebih. Sederhana bukan? Aku rasa itu cukup untuk menurunkan
tingkat rasa sesak di hati menjadi lega.
Dan sampai akhirnya,
klimaks dari segala rasa. Dia mengerti semua. Mengerti apa yang aku rasakan.
Menghargai apa yang aku rasakan. Hanya melalui kata-kata sederhana, melalui
imajinasi sederhana. Dan itu puncak rasa terlelahku. Dan benar-benar habis
kata-kataku untuknya. Akhirnya dia mengerti, walaupun tidak ada perubahan yang
berarti. Tapi, dia tetap menghargaiku sebagai seorang wanita. Wanita dibalik
tirai senja, yang baginya cukup dimengerti saja tanpa bertanya ada apa dan
mengapa.
Aku tidak
mengungkapkan perasaanku secara gamblang padanya, tidak. Ah, ayolah kita sudah
mulai dewasa. Kita punya cara tersendiri untuk mengungkapkannya dengan baik dan
anggun. Aku tidak merasa bahwa hal yang kulakukan adalah sesuatu yang bodoh dan
aku tidak merasa menyesal telah melakukannya. Justru akan lebih bodoh rasanya
berdiam diri dengan terus memendam perasaan yang menyesakkan hati tanpa ada
jalan keluarnya. Aku yakin wanita tegas, dewasa, dan cerdas takkan berdiam diri
jika sudah terjerat persoalan hati. Aku tidak pernah menyesal telah memendam
rasa itu dan melakukan hal-hal “gila” untuknya. karena cinta itu bukan
logika saja, cinta itu juga bukan perasaan saja, cinta itu perpaduan antara
logika dan hati (Perasaan). Jadi, tak heran jika kau terkadang melakukan
hal “gila” untuk orang yang kau cintai. Itu wajar! Untuk apa disesali, karena
memang itu skenario hidupku dan menjadi bab dalam cerita hidupku. Aku bahagia
bisa merasakan dan mengalaminya. Bukan cinta namannya jika kau belum melakukan
hal “gila” untuknya
Akhirnya, aku
kembalikan rasa itu padaNya, aku terlalu lelah menggemgamnya sendirian dengan
erat, toh rasa ini milikMu dan kembali padaMu. Aku tidak terobsesi bahwa dia
kelak menjadi jodohku dengan segala “perjuangan gila” yang telah kulakukan,
tidak. Itu hanya upaya kecilku yang belum seberapa untuk menunjukkan padaNya
bahwa aku sedang berusaha. Jodoh itu di Tangan Tuhan, namun Tuhan tidak akan
mengirimkannya jika kita sendiri hanya berdiam diri.
Wanita mengungkapkan
perasaan pada lelaki? Tabu? Tidak! sudah kubilang berulang-ulang jelaskan
perasaanmu itu lewat caramu sendiri dengan baik dan anggun! Katakan dengan
tegas.
Ya, cinta memang tak
harus memiliki. Walaupun cinta memang tak harus memiliki, tapi kau punya hak
untuk mengungkapkan perasaanmu. Ungkapkan seperti kau sayang pada orang tua,
adik, kakak, temanmu. Ini hanya persoalan sederhana. Kau pasti punya banyak
cara untuk mencintai seseorang bukan? Ungkapkanlah, karena cinta itu
kebaikan, kebahagiaan, dan keindahan. Sekali lagi, cinta itu suci, kau harus
tetap menjaga makna kesucian itu.
Satu hal, jangan
mencintai untuk dicintai. Karena itu akan meninggalkan jejak yang tak tertilas.
Cintailah Tuhanmu, cintailah dirimu, cintailah semua orang dengan hatimu. Maka
cinta akan datang padamu dengan bijaksana dan sederhana. Cintailah untuk
mencintai. Agar tidak ada rasa sesak yang tertinggal.
“Aku tidak mengekangmu
dalam hatiku, karena itu bukan cinta. Aku hanya membebaskan rasa untuk keluar
dari hati dan pikiran, agar ia bisa merasakan cinta yang sebenarnya. Aku
bahagia melihatmu bahagia. Dan itu tidak menyiksaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar